Nama : Yuliana Wulandari Ekhwan
Kelas : 2EB20
NPM : 27212939
Ketentuan Outsorching Dalam Hukum di Indonesia
Dewasa
ini pengguna outsorching (Alih Daya) semakin marak terjadi di Indonesia.
Seakan-akan outsorching sebagai “kebutuhan” bagi para pelaku bisnis. Khususnya
untuk perusahaan yang memproduksi barang/jasa. Kebutuhan tersebut semata-mata
muncul karena adanya persaingan usaha yang semakin ketat. Dimana setiap
perusahaan dituntut untuk menghasilkan output atau memaksimumkan produktivitas
agar perusahaan mendapatkan profit atau keuntungan. Untuk meraih keuntungan
tersebut, mau tidak mau pihak perusahaan harus selalu fokus dalam
berkompetensi. Hal itu dilakukan agar perusahaan tidak sekedar menghasilkan
output yang biasa-biasa saja. Namun harus memproduksi output berupa barang/jasa
yang berkualitas, bermutu, dan dapat bersaing dengan produk perusahaan lainnya.
Dengan
kondisi seperti itulah, pada akhirnya jalan outsorching menjadi solusi
sementara bahkan menjadi sebuah trend ekonomi produksi dalam sebuah perusahaan.
Tetapi permasalahannya adalah bagaimana posisi atau tempat outsorching itu
sendiri berdiri di mata hukum. Sehingga sekarang ini banyak perselisihan
mengenai sistem alih daya yang dituntut oleh para serikat pekerja untuk
dihapuskan.
1.
Penggunaan
Outsorching dan Posisinya dalam Hukum
Menurut Mourice
F Greaver ii, pada bukunya Strategic Outsorching, A Structured Approach to
Outsorching : Decisions and Initiatives, yang menjabarkan Outsorching sebagai
berikut:
“Strategic
use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal
staff and respurces”.
Dalam
pengertian lain, outsorching (Alih Daya) adalah suatu tindakan pendelegasian
beberapa kegiatan bisnis kepada suatu badan penyediaan jasa. Dimana badan
penyediaan jasa tersebut melakukan proses adminitrasi dan manajemen berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati oleh berbagai pihak.
Terdapat
70% perusahaan yang menggunakan tenaga outsource. Kebanyakan dari
perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam bidang industri, baik tekstil,
jasa makanan maupun minuman, dll.
Berlakunya
outsourching di Indonesia didasarkan oleh beberapa hukum yang mengaturnya.
Hukum yang mengatur terbentuknya outsorching yaitu terdapat dalam:
·
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 (pasal 64, 65, dan 66). Yang dikatakan pada pasal 64, pengertian outsorcing
adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja,
dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis.
·
Selain itu dalam pasal 1601 b KUH
Perdata juga dijelaskan bahwa outsorching disamakan dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan.
·
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 100/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang
ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (Kepmen 100/2004).
·
Outsorching juga diatur dalam keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 101/ Men/ VI/
2004 Tahun 2004 tentang tata cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/
buruh (Kepmen 101/2004).
·
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No. 220/ Men/ X/ 2004 tentang syarat-syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kepmen 220/2004).
Dengan
dasar-dasar hukum yang telah disebutkan seperti yang diatas, maka sistem
outsorching dibolehkan dalam kegiatan produksi sebuah perusahaan. Dengan
catatan pula, semuanya telah diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
tidak boleh merugikan pekerja/ buruh.
2.
Perlunya
Perjanjian Tertulis agar Jelas
Dalam
beberapa bulan terakhir sering terjadi demontrasi pekerja yang menuntut
keadilan haknya, termasuk yang menjadi poin tuntutan adlaah penghapusan sistem
kerja kontrak dan alih daya (Outsorching). Seperti yang terjadi di Cimahi
(9/10), ribuan buruh PT Kahatex menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu masuk
perusahaannya. Sekitar 2.500 buruh ikut dalam aksi tersebut, dari jumlah buruh
keseluruhan sebanyak 11.000 buruh.
Untuk
menggapai masalah-masalah demonstrasi serikat pekerja yang semacam itu, maka
tanggapan pemerintah melalui juru bicara Kepresidenan, Julian Pasha mengaku
akan senantiasa mendengar aspirasi para buruh yang melakukan aksi demonstrasi.
Terkait masalah tersebut, telah di instruksikan agar Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menekertrans), Muhaimin Iskandar bekerja optimal untuk memenuhi
aspirasi buruh mengenai Outsorching.
Karena
pada dasarnya menurut peraturan pemerintah, outsorching hanya diperkenankan
untuk lima bidan pekerjaan saja yaitu cleaning service, keamanan, transportasi,
catering dan pemborongan pertambangan. Kemudian untuk perusahaan outsorching
yang menyengsarakan pekerja, melanggar UU No. 13 /2003 dan tidak sesuai dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi maka harus dicabut perizinannya. Namun kendati
demikian, agar tidak terjadi penyimpangan keadilan dan tidak mencari yang salah
dalam polemik demonstrasi outsorching yang kerap terjadi akhir-akhir ini, maka
perlu disarankan untuk menggelar pertemuan tripartit antara pemerintah,
pengusaha dan buruh untuk mencari solusi permasalahan tersebut.
Selain
itu, perlu susunan perjanjian kerja tertulis dalam hubungan ketenagakerjaan.
Dimana perjanjia kerja itu sendiri berarti perjanjian pengikat diri antara
pekerja dengan pengusaha. Bahwa pekerja menyatakan kesiapan untuk melakukan
pekerjaan dan pengusaha menyatakan kesediaan untuk membayar upah dan hak-hak
pekerja lainnya. Dengan begitu muncul asas tentang “Hak dan Kewajiban” yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Di
dalam UU No. 13 Tahun 2003 pun dijelaskan tentang definisi perjanjian kerja,
tujuannya diberlakukan perjanjian kerja yang diatur dalam UU adalah untuk
memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Menurut Undang-Undang,
perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila tertulis,
maka perjanjian kerja tersebut memuat antara lain:
1. Nama,
jenis usaha dan alamat perusahaan,
2. Nama,
jenis kelamin, umur dan alamat pekerja,
3. Jabatan
atau jenis pekerjaan,
4. Tempat
pekerjaan,
5. Besar
upah dan cara pembayarannya,
6. Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.
7. Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
8. Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
9. Tanda
tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Sedangkan
ketentuan mengenai perjanjian kerja untuk pekerjaan dalam waktu yang tak
menentu, hak dan kewajiban pekerja, serta kewenangan dan hak pekerja, perlu
dimuat dengan jelas dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perjanjian
kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha untuk
melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang
relatif pendek. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), paling lama dua tahun,
dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu
perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh waktu perjanjian tidak
boleh melebihi waktu tiga tahun. Misalnya PKWT satu tahun, dapat
diperpanjang hanya satu kali maksimum satu tahun, PKWT 1,5 tahun dapat
diperpanjang selama 1,5 tahun. PKWT dua tahun dapat diperpanjang hanya satu
tahun menjadi seluruhnya 3 tahun.
Poin
akhir untuk mencegah terjadinya perselisihan dalam Outsorching (alih daya)
yaitu perlunya juga penafsiran mengenai konsep dan pengertian usaha pokok atau
Core Business. Dimana dua konsep tersebut berubah dan berkembang secara
dinamis. Maka ada baiknya bahwa setiap perusahaan seharusnya terlebih dahulu
menggolongkan apa yang menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam
suatu dokumen tertulis dan melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan
setempat.
Daftar Pustaka
Prof.
Dr. Simanjutak, Payman J. 2011. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta:
LPFEUI
Pikiran
Rakyat, Edisi 10 Oktober 2012
Vivanews, 03
Oktober 2012