Senin, 29 April 2013

MEMPERTANYAKAN EFEKTIVITAS ANGGARAN DEFISIT FISKAL


MEMPERTANYAKAN EFEKTIVITAS ANGGARAN DEFISIT FISKAL


Pendahuluan
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Dimana Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya. Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah.

ISI
RABN Indonesia 2012-2013



Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, pemerintah Indonesia mentargetkan pendapatan negara akan mencapai Rp1.507,07 triliun atau meningkat 12,6% dari APBN-P 2012. Di sisi lain, belanja 2013 juga diperkirakan akan meningkat 8,7% menjadi Rp1.657,09 triliun. Peningkatan sumber pendapatan dan pengeluaran negara tersebut menyebabkan defisit anggaran sebesar Rp153,34 triliun atau -1,65% dari PDB dibandingkan dengan -2,23% dari PDB pada APBN-P 2012.
Pemerintah melakukan beberapa langkah stretegis untuk meningkatkan kualitas pengeluaran Negara.  Pertama, meningkatkan belanja modal untuk mendukung pembangunan infrastruktur nasional dan konektivitas antardaerah serta peningkatan ketahanan energi dan pangan. Belanja modal, yang sebagian besar digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dianggarkan sebesar Rp216,1 triliun pada 2013, meningkat sebesar 28,1% terhadap belanja modal pada 2012.Proporsi belanja modal juga meningkat signifikan dari 12,7% pada 2007 menjadi 18,7% di tahun depan. Peningkatan anggaran infrastruktur akan digunakan untuk membangun infrastruktur yang dapat menstimulasi sektor riil seperti listrik, jalan raya, dermaga dan juga perkembangan infrastruktur dalam enam koridor ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Kedua, penurunan anggaran subsidi khususnya subsidi listrik untuk mengurangi beban subsidi listrik. Anggaran subsidi yang ditargetkan dalam APBN 2013 akan dikurangi menjadi 27,5% dari total belanja pemerintah dibandingkan dengan anggaran subsidi pada 2007 sebesar 29,8% dari total belanja pemerintah. Pada 2013, pemerintah berencana meningkatkan tarif listrik secara bertahap setiap kuartal dan akan memprioritaskan perhatian pada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah akan menyesuaikan tarif listrik dan menjaga konsumsi energi untuk menjaga subsidi energi karena pemerintah telah belajar dari pengalaman masa lalu bahwa distribusi subsidi belum menjangkau kalangan menengah ke bawah. Indonesia akan menghadapi kebutuhan pembiayaan yang besar seiring degan rencana pengembangan infrastruktur di Indonesia. Penurunan subsidi energi akan meningkatkan efisiensi energi tetapi program-program pada bidang yang menjadi skala prioritas juga butuh pembiayaan dari pendapatan pajak yang lebih tinggi. Pemerintah Indonesia mentargetkan pendapatan pajak sebesar Rp1.193 triliun pada 2013 atau meningkat sebesar 17,4% dibandingkan dengan penerimaan pajak 2012 yang mencapai Rp1.016,2 triliun. Rasio pajak terhadap PDB pada 2013 diperkiraka tetap stabil walaupun adanya peningkatan pendapatan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Tujuan dari pemilihan instrumen fiskal pajak adalah untuk meningkatkan pendapatan yang cukup sekaligus meminimalisasi distorsi dan menjaga sistem pajak yang mudah untuk dilaksanakan.
Ada beberapa dampak dari rencana peningkatan penerimaan pajak pemerintah terhadap sektor riil di Indonesia. Pertama, potensi peningkatan pajak penghasilan (PPh) dapat mempengaruhi sektor pertambangan, perkebunan terutama CPO dan manufaktur. Pada  2012, pendapatan PPh ditargetkan dapat mencapai IDR 548,8 triliun, atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan target penerimaan pada 2012. Jika diasumsikan skenario terbaik, harga komoditas global diperkirakan kembali nornal pada 2013, sehingga investasi dapat meningkat dan pada akhirnya ekspor akan mengalami kenaikan. Namun, apabila harga komoditas tidak kembali mengalami perbaikan harga maka peningkatan pajak pendapatan perusahaan akan mengurangi arus kas perusahaan pada akhirnya. Kedua, meningkatnya PPN diperkirakan akan mempengaruhi industri produk makanan dan perusahaan manufaktur produk konsumen lainnya. Pada 2013, target PPN mencapai Rp423,7 triliun atau meningkat sebesar 26% dari target APBN-P 2012. Saat ini, tingkat PPN yang diberlakukan oleh pemerintah adalah sebesar 10% pada produk domestik dan impor.
Kenaikan pendapatan PPN tidak akan berdampak pada tarif PPN tetapi lebih kepada penghapusan pengecualian PPN. Oleh karena itu, industri retail seperti industri produk makanan dan produk konsumen khususnya wajib pajak baru akan terpengaruh dengan adanya rencana peningkatan penerimaan PPN tersebut. peningkatan pajak ekspor dapat mempengaruhi perekonomian khususnya pada perdagangan internasional. Bea ekspor pada  2013 diperkirakan akan meningkat sebesar 36,6% dari penerimaan pajak ekspor pada 2012. Potensi kenaikan pajak ekspor ini berdampak pada beberapa pelaku usaha biji mineral karena pemerintah telah menerapkan tingkat pajak baru sebesar 20% pada 2012 dan berencana akan menaikkan kembali pada 2013. Oleh karena itu, pengekspor biji mineral akan menimbang dan mempertimbangkan potensi biaya tambahan yang harus dikeluarkan antara tetap melakukan ekspor dengan konsekuensi pajak ekspor yang lebih tinggi atau menjual ke pengelola smelter tanpa dikenakan pajak ekspor. Namun, pajak ekspor atas komoditas adalah bagian dari langkah kebijakan pemerintah untuk mendorong pengembangan industri pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah dari suatu produk ekspor. Lebih lanjut lagi, hal ini akan meningkatkan produktivitas industri hilir yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan harga komoditas tersebut sehingga pada akhirnya dapat memberikan tambahan laba (profit) terhadap eksportir.
Secara keseluruhan, kebijakan fiskal pada 2013 diperkirakan akan ekspansif dengan defisit anggaran sebesar 1,65% dari PDB yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan defisit anggaran yang hati-hati. Hal ini direfleksikan dengan peningkatan belanja terutama belanja modal untuk mempercepat pengembangan infrastruktur di Indonesia yang dapat menjadi daya tarik investasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk mengurangi defisit fiskal, pemerintah akan mengoptimalkan pendapatan negara dan mengatur pengeluaran non produktif agar menjadi lebih efisien. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah mentargetkan kenaikan rasio pajak pada 2013 menjadi 12,87% dengan cara memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan para wajib pajak. implementasi peningkatan PPh akan mempengaruhi beberapa industri dan sektor karena peraturan pajak ini juga akan mempengaruhi pajak pendapatan perusahaan. Akan tetapi, peningkatan pajak akan merugikan investasi karena kebijakan kenaikan pajak berpotensi memperlemah minat investor. Walaupun demikian, insentif pajak berupa tax holiday perlu tetap dimplementasikan dalam beberapa industri yang produktif sehingga target pendapatan negara dapat tercapai.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo yakin bahwa cadangan risiko fiskal untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 sebesar Rp 5,5 triliun sudah cukup memadai. Alasannya, pemerintah dalam tahun depan sudah memiliki kewenangan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak sewaktu-waktu. "Kami rasa memadai, terutama karena ada kewenangan dalam APBN 2013, seandainya ada keperluan kalau ada krisis," kata Menteri Agus dalam konferensi pers di kantornya, Senin, 29 Oktober 2012. Meski tidak terlalu optimistis perekonomian global akan membaik pada tahun 2013, Agus menilai, perhitungan alokasi risiko fiskal sudah tepat. "Dibanding tahun lalu, APBNP 2012, karena ketika pembahasan revisi situasinya bergejolak sehingga pembahasan subsidi energi tidak tuntas, sehingga dimasukkan pos Rp 23 triliun," ujarnya. Pada APBN Perubahan 2012, cadangan risiko fiskal yang dialokasikan mencapai Rp 27,4 triliun. Dana tersebut terdiri dari dana risiko energi Rp 23 triliun dan dana risiko fiskal Rp 4,4 triliun. Menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dana itu dapat dipakai untuk menambal belanja mendesak, termasuk pembengkakan subsidi bahan bakar minyak. Menteri Agus juga mengatakan, pemerintah juga memiliki mekanisme saldo anggaran lebih (SAL) melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat jika ada keperluan saat krisis. "Kita punya kewenangan mengeluarkan anggaran yang lebih besar melalui persetujuan DPR selama 1 x 24 jam," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga memiliki dana pinjaman siaga sebesar US$ 5 miliar (setara Rp 48 triliun). "Contingency loan juga bisa kita tarik kalau seandainya kondisi memerlukan," ujar dia. Pemerintah dalam hal ini tetap menjaga kondisi perekonomian Indonesia yang tumbuh baik selama sepuluh tahun terakhir. "Deviasi pertumbuhan ekonomi ini terus kita jaga, antara lain untuk membuat contigency loan," kata dia.Pekan lalu, sidang paripurna telah mengesahkan UU APBN 2013. Pemerintah dan DPR sepakat total pendapatan negara sebesar Rp 1.529,67 triliun dengan total belanja negara Rp 1.683,01 triliun. Pemerintah mengklaim defisit hanya sebesar 1,65 persen atau Rp 153,3 triliun.

Ketahanan ekonomi Indonesia di tengah perlemahan ekonomi dunia
Posisi fiskal Indonesia secara umum dinilai masih sehat. Dimana, angka realisasi sementara defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 adalah Rp146 triliun. ‘’Angka ini artinya 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),’’ kata Ekonom Utama Bank Dunia, Jim Brumby. Ia mengatakan, ketahanan ekonomi telah menjadi kekuatan Indonesia di tengah perlemahan ekonomi dunia. Terkait kebijakan bersubsidi energi, Bank Dunia memandang perlu dan penting untuk dilakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM). ‘’Subsidi BBM yang besarnya mencapai 2,6 persen dari PDB pada tahun 2012 lalu, mungkin telah menambah tekanan terhadap neraca menjadi beban yang signifikan terhadap perdagangan luar negeri dan sektor fiscal,’’ ungkapnya. Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle mengingatkan agar Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang tepat dan strategis. ‘’Dengan kebijakan-kebijakan yang tepat, Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi, memanfaatkan kekuatan urbanisasi dan peningkatan pendapatan, pada saat bersamaan memperbanyak lapangan kerja berkualitas bagi angkatan kerja yang semakin meningkat,’’ katanya. Ia menjelaskan, upaya itu juga harus dibarengi dengan peningkatan tata kelola pemerintahan yang bersih. Untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar di Asia, lanjutnya, Indonesia juga harus mampu menjawab berbagai tantangan melalui penentuan dan penerapan berbagai kebijakan strategis di level regulator.Utang Indonesia saat ini mencapai Rp. 1803 Triliun, atau naik Rp 126 Triliun dari tahun sebelumnya. Alasan yang umum dikeluarkan pemerintah terkait utang adalah utang diperlukan untuk menutup defisit anggaran dan defisit anggaran dibutuhkan untuk menstimulus perekonomian. Pada APBN-P 2011 pemerintah menargetkan defisit sebesar 2,1 % yang menyebabkan pemerintah harus berhutang sebanyak Rp 151,1 Triliun. Angka ini tentunya akan terus bertambah karena pada APBN 2012, pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 1,5% dari GDP atau Rp 124 Triliun.  Dalam ranah ilmu ekonomi, defisit anggaran (budget deficit) adalah kebijakan anggaran dimana pengeluaran lebih besar dari penerimaan negara (yang bersumber dari pajak dan pendapatan lainnya). Defisit anggaran ini dibutuhkan untuk membiayai besarnya belanja negara (Seda, 2007). Menurut Mankiw (2003), ada tiga alasan mengapa defisit dibutuhkan, pertama untuk stabilisasi, kedua untuk tax smoothing, ketiga untuk redistribusi intergenerasi. Perdebatan ekonomi dan politik terhadap defisit anggaran ini sudah lama terjadi. Pihak yang kontra akan defisit berpendapat bahwa defisit anggaran (yang dibiayai melalui utang) akan menyebabkan beban pajak berpindah dari generasi saat ini ke generasi yang akan datang (Hyman, 1983). Hal teresbut bisa terjadi karena defisit bersumber dari utang dan untuk membayar utang dan beban bunga pemerintah harus menaikkan pajak di masa yang akan datang. Di sisi lain, argumen yang mendukung adanya defisit anggaran adalah karena defisit dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya beli masyarakat melalui ekspansi fiskal. Lalu, bagaimana dengan kebijakan defisit anggaran di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir Indonesia menjalankan kebijakan defisit anggaran guna mempercepat pembangunan ekonomi. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah defisit tersebut benar-benar digunakan secara maksimal dan produktif. Menurut hemat penulis, ada dua permasalahan dalam kebijakan defisit anggaran di Indonesia, pertama belum tergunakan secara maksimal, kedua masih membiayai untuk sektor yang tidak produktif. Defisit anggaran di Indonesia seringkali menjadi percuma karena rendahnya kemampuan pemerintah menyerap anggaran. Dari tahun 2007 hingga 2010, Indonesia selalu gagal menyerap anggaran defisit. Berturut-turut dari tahun 2007-2010 defisit direncanakan sebesar 1,5%, 2,1%, 2,4%, 2,1%. Akan tetapi realisasinya hanya sebesar 1,3%, 0,1%, 1,6%, dan 0,7%. Sepintas, kerugian yang ditanggung oleh Indonesia hanyalah minimnya ekspansi karena rendahnya penyerapan dana defisit. Akan tetapi permasalahan sebenarnya adalah pada tidak produktifnya utang pemerintah yang seharusnya dipakai untuk membiayai defisit. Sebagian besar sumber  pembiayaan untuk kebijakan defisit anggaran adalah utang. Dalam kurun waktu 2005-2011, 78,3% sumber pembiayaan defisit berasal dari utang. Utang ini didapat baik dari penjualan obligasi pemerintah maupun pinjaman luar negeri.
Dalam APBN, gap antara realisasi defisit dan realisasi pembiayaan disebut Silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran). Pada tahun 2006, Silpa kita mencapai Rp 0,3 Triliun, angka ini melonjak di tahun 2008 yang mencapai Rp 80 Triliun, tahun 2009 sebesar Rp 24 Triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 44,7 Triliun. Pada tahun 2011, diperkirakan angka Silpa masih akan tinggi, mengingat rendahnya penyerapan anggaran oleh pemerintah. Besarnya Silpa berarti ada sejumlah utang kita yang akhirnya “tidak terpakai” di tahun anggaran tersebut. Besarnya Silpa menjadi indikasi bahwa perencanaan anggaran kita masih belum baik. Tentunya, pembiayaan melalui utang ini akan membebani anggaran pemerintah ke depan, karena pemerintah harus membayar bunga dan cicilan utang setiap tahunnya. Permasalahan kedua dan tidak kalah pentingnya adalah defisit Indonesia masih belum terpakai untuk sektor yang produktif. Menilik dari struktur belanja pemerintah, banyak pengeluaran pemerintah dipakai untuk sektor-sektor yang kurang produktif. Sebagian besar APBN Indonesia terpakai untuk belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dana alokasi umum, dan subsidi energi. Pengeluaran untuk keempat pos tersebut mencapai 55% dari total APBN (APBN 2011). Dana alokasi umum yang seharusnya dipakai untuk belanja pembangunan di daerah pun pada akhirnya habis untuk belanja pegawai. Rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total pengeluaran di 33 provinsi dan 500 Kabupaten/kota mencapai 50%, padahal untuk belanja modal (yang cenderung lebih produktif) hanya sebesar 21%.
PENUTUP
Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara serta pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal apabila perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran
Instrument kebijakan fiscal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industry akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industry secara umum
Pemerintah seringkali mematok deficit anggaran yang besar padahal kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran tersebut masih sangat minim. Pemerintah harus dapat memperkirakan kemampuannya untuk menyerap anggaran dan disesuaikan dengan perencanaan anggaran. Sehingga, pemerintah tidak perlu berhutang apabila tidak diperlukan. Kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran harus ditingkatkan, hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki system lelang dan pengadaan barang. Untuk memperbaiki system lelang dan pengadaan barang, alangkah baiknya apabila penggodokan RUU pengadaan dapat dipercepat. Selain itu, pemerintah perlu terus menggenjot pendirian pelayanan  pengadaan secara elektronik (LPSE) dan menambah tenaga ahli yang bersertifikat. Menyikapi permasalahan ini, alangkah baiknya kita kembali mengingat nasihat sesepuh ekonom Indonesia, yaitu Frans Seda, harus ada pemisahan yang tegas antara sumber pembiayaan untuk belanja rutin dan belanja pembangunan. Menurutnya, belanja rutin hanya boleh bersumber dari pembiayaan dalam negeri (pajak, retribusi,dan lainnya). Sedang untuk pembiayaan pembangunan boleh menggunakan utang. System keuangan ala Frans Seda tersebut memang sudah diganti seiring dilakukannya reformasi keuangan. Akan tetapi, argument tersebut masih sejalan dengan spirit bahwa utang itu boleh dilakukan selama dipakai untuk pembiayaan proyek yang produktif. Dengan begitu, utang yang kita keluarkan akan lebih tepat sasaran.

DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar

 

yuliana wulandari ekhwan © 2008. Template Design By: SkinCorner