MEMPERTANYAKAN
EFEKTIVITAS ANGGARAN DEFISIT FISKAL
Pendahuluan
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan
kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya
tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain,
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak
beberapa tahun yang lalu. Dimana Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri
kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak
atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin
banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan
ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan
memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam
mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah.
ISI
RABN Indonesia
2012-2013
Dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, pemerintah Indonesia mentargetkan
pendapatan negara akan mencapai Rp1.507,07 triliun atau meningkat 12,6% dari
APBN-P 2012. Di sisi lain, belanja 2013 juga diperkirakan akan meningkat 8,7%
menjadi Rp1.657,09 triliun. Peningkatan sumber pendapatan dan pengeluaran
negara tersebut menyebabkan defisit anggaran sebesar Rp153,34 triliun atau
-1,65% dari PDB dibandingkan dengan -2,23% dari PDB pada APBN-P 2012.
Pemerintah melakukan beberapa
langkah stretegis untuk meningkatkan kualitas pengeluaran Negara. Pertama, meningkatkan belanja modal untuk
mendukung pembangunan infrastruktur nasional dan konektivitas antardaerah serta
peningkatan ketahanan energi dan pangan. Belanja modal, yang sebagian besar
digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dianggarkan sebesar Rp216,1
triliun pada 2013, meningkat sebesar 28,1% terhadap belanja modal pada
2012.Proporsi belanja modal juga meningkat signifikan dari 12,7% pada 2007 menjadi
18,7% di tahun depan. Peningkatan anggaran infrastruktur akan digunakan untuk
membangun infrastruktur yang dapat menstimulasi sektor riil seperti listrik,
jalan raya, dermaga dan juga perkembangan infrastruktur dalam enam koridor
ekonomi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI).
Kedua, penurunan anggaran subsidi
khususnya subsidi listrik untuk mengurangi beban subsidi listrik. Anggaran
subsidi yang ditargetkan dalam APBN 2013 akan dikurangi menjadi 27,5% dari
total belanja pemerintah dibandingkan dengan anggaran subsidi pada 2007 sebesar
29,8% dari total belanja pemerintah. Pada 2013, pemerintah berencana
meningkatkan tarif listrik secara bertahap setiap kuartal dan akan
memprioritaskan perhatian pada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Hal ini
dapat diartikan bahwa pemerintah akan menyesuaikan tarif listrik dan menjaga
konsumsi energi untuk menjaga subsidi energi karena pemerintah telah belajar
dari pengalaman masa lalu bahwa distribusi subsidi belum menjangkau kalangan
menengah ke bawah. Indonesia akan menghadapi kebutuhan pembiayaan yang besar
seiring degan rencana pengembangan infrastruktur di Indonesia. Penurunan
subsidi energi akan meningkatkan efisiensi energi tetapi program-program pada
bidang yang menjadi skala prioritas juga butuh pembiayaan dari pendapatan pajak
yang lebih tinggi. Pemerintah Indonesia mentargetkan pendapatan pajak sebesar
Rp1.193 triliun pada 2013 atau meningkat sebesar 17,4% dibandingkan dengan
penerimaan pajak 2012 yang mencapai Rp1.016,2 triliun. Rasio pajak terhadap PDB
pada 2013 diperkiraka tetap stabil walaupun adanya peningkatan pendapatan PPN
(Pajak Pertambahan Nilai). Tujuan dari pemilihan instrumen fiskal pajak adalah
untuk meningkatkan pendapatan yang cukup sekaligus meminimalisasi distorsi dan
menjaga sistem pajak yang mudah untuk dilaksanakan.
Ada beberapa dampak dari rencana
peningkatan penerimaan pajak pemerintah terhadap sektor riil di Indonesia.
Pertama, potensi peningkatan pajak penghasilan (PPh) dapat mempengaruhi sektor
pertambangan, perkebunan terutama CPO dan manufaktur. Pada 2012, pendapatan PPh ditargetkan dapat
mencapai IDR 548,8 triliun, atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan target
penerimaan pada 2012. Jika diasumsikan skenario terbaik, harga komoditas global
diperkirakan kembali nornal pada 2013, sehingga investasi dapat meningkat dan
pada akhirnya ekspor akan mengalami kenaikan. Namun, apabila harga komoditas
tidak kembali mengalami perbaikan harga maka peningkatan pajak pendapatan
perusahaan akan mengurangi arus kas perusahaan pada akhirnya. Kedua,
meningkatnya PPN diperkirakan akan mempengaruhi industri produk makanan dan
perusahaan manufaktur produk konsumen lainnya. Pada 2013, target PPN mencapai
Rp423,7 triliun atau meningkat sebesar 26% dari target APBN-P 2012. Saat ini,
tingkat PPN yang diberlakukan oleh pemerintah adalah sebesar 10% pada produk
domestik dan impor.
Kenaikan pendapatan PPN tidak
akan berdampak pada tarif PPN tetapi lebih kepada penghapusan pengecualian PPN.
Oleh karena itu, industri retail seperti industri produk makanan dan produk
konsumen khususnya wajib pajak baru akan terpengaruh dengan adanya rencana
peningkatan penerimaan PPN tersebut. peningkatan pajak ekspor dapat
mempengaruhi perekonomian khususnya pada perdagangan internasional. Bea ekspor
pada 2013 diperkirakan akan meningkat
sebesar 36,6% dari penerimaan pajak ekspor pada 2012. Potensi kenaikan pajak
ekspor ini berdampak pada beberapa pelaku usaha biji mineral karena pemerintah
telah menerapkan tingkat pajak baru sebesar 20% pada 2012 dan berencana akan
menaikkan kembali pada 2013. Oleh karena itu, pengekspor biji mineral akan
menimbang dan mempertimbangkan potensi biaya tambahan yang harus dikeluarkan
antara tetap melakukan ekspor dengan konsekuensi pajak ekspor yang lebih tinggi
atau menjual ke pengelola smelter tanpa dikenakan pajak ekspor. Namun, pajak
ekspor atas komoditas adalah bagian dari langkah kebijakan pemerintah untuk
mendorong pengembangan industri pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah
dari suatu produk ekspor. Lebih lanjut lagi, hal ini akan meningkatkan
produktivitas industri hilir yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan harga
komoditas tersebut sehingga pada akhirnya dapat memberikan tambahan laba
(profit) terhadap eksportir.
Secara keseluruhan, kebijakan fiskal
pada 2013 diperkirakan akan ekspansif dengan defisit anggaran sebesar 1,65%
dari PDB yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dengan pengelolaan defisit
anggaran yang hati-hati. Hal ini direfleksikan dengan peningkatan belanja
terutama belanja modal untuk mempercepat pengembangan infrastruktur di
Indonesia yang dapat menjadi daya tarik investasi dan pendorong pertumbuhan
ekonomi. Untuk mengurangi defisit fiskal, pemerintah akan mengoptimalkan
pendapatan negara dan mengatur pengeluaran non produktif agar menjadi lebih
efisien. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah mentargetkan kenaikan rasio
pajak pada 2013 menjadi 12,87% dengan cara memperluas jumlah wajib pajak dan
meningkatkan kepatuhan para wajib pajak. implementasi peningkatan PPh akan
mempengaruhi beberapa industri dan sektor karena peraturan pajak ini juga akan
mempengaruhi pajak pendapatan perusahaan. Akan tetapi, peningkatan pajak akan
merugikan investasi karena kebijakan kenaikan pajak berpotensi memperlemah
minat investor. Walaupun demikian, insentif pajak berupa tax holiday perlu
tetap dimplementasikan dalam beberapa industri yang produktif sehingga target
pendapatan negara dapat tercapai.
Menteri Keuangan Agus
Martowardojo yakin bahwa cadangan risiko fiskal untuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara 2013 sebesar Rp 5,5 triliun sudah cukup memadai. Alasannya,
pemerintah dalam tahun depan sudah memiliki kewenangan untuk menaikkan harga
bahan bakar minyak sewaktu-waktu. "Kami rasa memadai, terutama karena ada
kewenangan dalam APBN 2013, seandainya ada keperluan kalau ada krisis,"
kata Menteri Agus dalam konferensi pers di kantornya, Senin, 29 Oktober 2012. Meski
tidak terlalu optimistis perekonomian global akan membaik pada tahun 2013, Agus
menilai, perhitungan alokasi risiko fiskal sudah tepat. "Dibanding tahun
lalu, APBNP 2012, karena ketika pembahasan revisi situasinya bergejolak
sehingga pembahasan subsidi energi tidak tuntas, sehingga dimasukkan pos Rp 23
triliun," ujarnya. Pada APBN Perubahan 2012, cadangan risiko fiskal yang
dialokasikan mencapai Rp 27,4 triliun. Dana tersebut terdiri dari dana risiko
energi Rp 23 triliun dan dana risiko fiskal Rp 4,4 triliun. Menurut Badan
Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dana itu dapat dipakai untuk menambal
belanja mendesak, termasuk pembengkakan subsidi bahan bakar minyak. Menteri
Agus juga mengatakan, pemerintah juga memiliki mekanisme saldo anggaran lebih
(SAL) melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat jika ada keperluan saat
krisis. "Kita punya kewenangan mengeluarkan anggaran yang lebih besar
melalui persetujuan DPR selama 1 x 24 jam," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga
memiliki dana pinjaman siaga sebesar US$ 5 miliar (setara Rp 48 triliun).
"Contingency loan juga bisa kita tarik kalau seandainya kondisi
memerlukan," ujar dia. Pemerintah dalam hal ini tetap menjaga kondisi
perekonomian Indonesia yang tumbuh baik selama sepuluh tahun terakhir.
"Deviasi pertumbuhan ekonomi ini terus kita jaga, antara lain untuk
membuat contigency loan," kata dia.Pekan lalu, sidang paripurna telah
mengesahkan UU APBN 2013. Pemerintah dan DPR sepakat total pendapatan negara
sebesar Rp 1.529,67 triliun dengan total belanja negara Rp 1.683,01 triliun.
Pemerintah mengklaim defisit hanya sebesar 1,65 persen atau Rp 153,3 triliun.
Ketahanan ekonomi
Indonesia di tengah perlemahan ekonomi dunia
Posisi fiskal Indonesia secara
umum dinilai masih sehat. Dimana, angka realisasi sementara defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 adalah Rp146 triliun. ‘’Angka ini
artinya 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),’’ kata Ekonom Utama Bank
Dunia, Jim Brumby. Ia mengatakan, ketahanan ekonomi telah menjadi kekuatan
Indonesia di tengah perlemahan ekonomi dunia. Terkait kebijakan bersubsidi
energi, Bank Dunia memandang perlu dan penting untuk dilakukan reformasi
subsidi bahan bakar minyak (BBM). ‘’Subsidi BBM yang besarnya mencapai 2,6
persen dari PDB pada tahun 2012 lalu, mungkin telah menambah tekanan terhadap
neraca menjadi beban yang signifikan terhadap perdagangan luar negeri dan
sektor fiscal,’’ ungkapnya. Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk
Indonesia, Stefan Koeberle mengingatkan agar Pemerintah Indonesia menerapkan
kebijakan yang tepat dan strategis. ‘’Dengan kebijakan-kebijakan yang tepat,
Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi, memanfaatkan kekuatan
urbanisasi dan peningkatan pendapatan, pada saat bersamaan memperbanyak
lapangan kerja berkualitas bagi angkatan kerja yang semakin meningkat,’’
katanya. Ia menjelaskan, upaya itu juga harus dibarengi dengan peningkatan tata
kelola pemerintahan yang bersih. Untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar
di Asia, lanjutnya, Indonesia juga harus mampu menjawab berbagai tantangan
melalui penentuan dan penerapan berbagai kebijakan strategis di level
regulator.Utang Indonesia saat ini mencapai Rp. 1803 Triliun, atau naik Rp 126
Triliun dari tahun sebelumnya. Alasan yang umum dikeluarkan pemerintah terkait
utang adalah utang diperlukan untuk menutup defisit anggaran dan defisit
anggaran dibutuhkan untuk menstimulus perekonomian. Pada APBN-P 2011 pemerintah
menargetkan defisit sebesar 2,1 % yang menyebabkan pemerintah harus berhutang
sebanyak Rp 151,1 Triliun. Angka ini tentunya akan terus bertambah karena pada
APBN 2012, pemerintah kembali menargetkan defisit anggaran sebesar 1,5% dari
GDP atau Rp 124 Triliun. Dalam ranah
ilmu ekonomi, defisit anggaran (budget deficit) adalah kebijakan anggaran
dimana pengeluaran lebih besar dari penerimaan negara (yang bersumber dari
pajak dan pendapatan lainnya). Defisit anggaran ini dibutuhkan untuk membiayai
besarnya belanja negara (Seda, 2007). Menurut Mankiw (2003), ada tiga alasan
mengapa defisit dibutuhkan, pertama untuk stabilisasi, kedua untuk tax
smoothing, ketiga untuk redistribusi intergenerasi. Perdebatan ekonomi dan
politik terhadap defisit anggaran ini sudah lama terjadi. Pihak yang kontra
akan defisit berpendapat bahwa defisit anggaran (yang dibiayai melalui utang)
akan menyebabkan beban pajak berpindah dari generasi saat ini ke generasi yang
akan datang (Hyman, 1983). Hal teresbut bisa terjadi karena defisit bersumber
dari utang dan untuk membayar utang dan beban bunga pemerintah harus menaikkan
pajak di masa yang akan datang. Di sisi lain, argumen yang mendukung adanya
defisit anggaran adalah karena defisit dapat menopang pertumbuhan ekonomi dan
memperkuat daya beli masyarakat melalui ekspansi fiskal. Lalu, bagaimana dengan
kebijakan defisit anggaran di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir
Indonesia menjalankan kebijakan defisit anggaran guna mempercepat pembangunan
ekonomi. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah defisit tersebut benar-benar
digunakan secara maksimal dan produktif. Menurut hemat penulis, ada dua
permasalahan dalam kebijakan defisit anggaran di Indonesia, pertama belum
tergunakan secara maksimal, kedua masih membiayai untuk sektor yang tidak
produktif. Defisit anggaran di Indonesia seringkali menjadi percuma karena
rendahnya kemampuan pemerintah menyerap anggaran. Dari tahun 2007 hingga 2010,
Indonesia selalu gagal menyerap anggaran defisit. Berturut-turut dari tahun
2007-2010 defisit direncanakan sebesar 1,5%, 2,1%, 2,4%, 2,1%. Akan tetapi
realisasinya hanya sebesar 1,3%, 0,1%, 1,6%, dan 0,7%. Sepintas, kerugian yang
ditanggung oleh Indonesia hanyalah minimnya ekspansi karena rendahnya
penyerapan dana defisit. Akan tetapi permasalahan sebenarnya adalah pada tidak
produktifnya utang pemerintah yang seharusnya dipakai untuk membiayai defisit. Sebagian
besar sumber pembiayaan untuk kebijakan
defisit anggaran adalah utang. Dalam kurun waktu 2005-2011, 78,3% sumber
pembiayaan defisit berasal dari utang. Utang ini didapat baik dari penjualan
obligasi pemerintah maupun pinjaman luar negeri.
Dalam APBN, gap antara realisasi
defisit dan realisasi pembiayaan disebut Silpa (sisa lebih pembiayaan
anggaran). Pada tahun 2006, Silpa kita mencapai Rp 0,3 Triliun, angka ini
melonjak di tahun 2008 yang mencapai Rp 80 Triliun, tahun 2009 sebesar Rp 24
Triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 44,7 Triliun. Pada tahun 2011, diperkirakan
angka Silpa masih akan tinggi, mengingat rendahnya penyerapan anggaran oleh
pemerintah. Besarnya Silpa berarti ada sejumlah utang kita yang akhirnya “tidak
terpakai” di tahun anggaran tersebut. Besarnya Silpa menjadi indikasi bahwa
perencanaan anggaran kita masih belum baik. Tentunya, pembiayaan melalui utang
ini akan membebani anggaran pemerintah ke depan, karena pemerintah harus
membayar bunga dan cicilan utang setiap tahunnya. Permasalahan kedua dan tidak
kalah pentingnya adalah defisit Indonesia masih belum terpakai untuk sektor
yang produktif. Menilik dari struktur belanja pemerintah, banyak pengeluaran
pemerintah dipakai untuk sektor-sektor yang kurang produktif. Sebagian besar
APBN Indonesia terpakai untuk belanja pegawai, pembayaran bunga utang, dana
alokasi umum, dan subsidi energi. Pengeluaran untuk keempat pos tersebut
mencapai 55% dari total APBN (APBN 2011). Dana alokasi umum yang seharusnya
dipakai untuk belanja pembangunan di daerah pun pada akhirnya habis untuk
belanja pegawai. Rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total pengeluaran di
33 provinsi dan 500 Kabupaten/kota mencapai 50%, padahal untuk belanja modal
(yang cenderung lebih produktif) hanya sebesar 21%.
PENUTUP
Dari semua unsure APBN hanya
pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara serta pajak yang dapat diatur
oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal apabila
perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan
permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan atau menaikkan pajak
agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan
anggaran
Instrument kebijakan fiscal
adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan
pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan
berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli
masyarakat akan meningkat dan industry akan dapat meningkatkan jumlah output.
Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industry secara umum
Pemerintah seringkali mematok
deficit anggaran yang besar padahal kemampuan pemerintah untuk menyerap
anggaran tersebut masih sangat minim. Pemerintah harus dapat memperkirakan
kemampuannya untuk menyerap anggaran dan disesuaikan dengan perencanaan
anggaran. Sehingga, pemerintah tidak perlu berhutang apabila tidak diperlukan.
Kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran harus ditingkatkan, hal ini bisa
dilakukan dengan memperbaiki system lelang dan pengadaan barang. Untuk
memperbaiki system lelang dan pengadaan barang, alangkah baiknya apabila
penggodokan RUU pengadaan dapat dipercepat. Selain itu, pemerintah perlu terus
menggenjot pendirian pelayanan pengadaan
secara elektronik (LPSE) dan menambah tenaga ahli yang bersertifikat. Menyikapi
permasalahan ini, alangkah baiknya kita kembali mengingat nasihat sesepuh
ekonom Indonesia, yaitu Frans Seda, harus ada pemisahan yang tegas antara
sumber pembiayaan untuk belanja rutin dan belanja pembangunan. Menurutnya,
belanja rutin hanya boleh bersumber dari pembiayaan dalam negeri (pajak,
retribusi,dan lainnya). Sedang untuk pembiayaan pembangunan boleh menggunakan
utang. System keuangan ala Frans Seda tersebut memang sudah diganti seiring
dilakukannya reformasi keuangan. Akan tetapi, argument tersebut masih sejalan
dengan spirit bahwa utang itu boleh dilakukan selama dipakai untuk pembiayaan
proyek yang produktif. Dengan begitu, utang yang kita keluarkan akan lebih
tepat sasaran.
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar